Cilegon, RedMOL. ID - Upaya menata dan mengembangkan pencak silat di Banten mendapat dorongan kuat dari Prof. Dr. H. Furtasan Ali Yusuf, S.E., S.Kom., M.M. Ia menilai bahwa dunia persilatan di Indonesia, khususnya di Banten, masih membutuhkan standar kemampuan dan sistem penjenjangan yang terukur, layaknya bela diri internasional seperti karate atau judo.
“Kalau di luar negeri, seperti Jepang, ada level kemampuan yang jelas. Dari warna sabuknya saja sudah kelihatan tingkat keahliannya. Sementara di kita, belum terlihat siapa yang mahir, siapa yang masih dasar,” ujar Prof. Furtasan dalam sebuah kegiatan pelatih dan pembukaan penggiatan pencak silat di Cilegon, Minggu (28/12/2025).
Ia berharap ke depan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) dapat menjadi wadah utama dalam menetapkan standar tersebut. “Harapannya tahun 2026 sudah mulai diterapkan, baik dari segi warna sabuk maupun level kemampuan. Jadi jelas, setiap pesilat punya jenjang keahlian yang bisa diukur,” tegasnya.
Lebih lanjut, Prof. Furtasan juga mendorong penataan organisasi pencak silat agar data atlet, padepokan, hingga jumlah penggiat dapat terhimpun dengan baik. “Kita perlu tahu berapa jumlah atlet kita, berapa padepokan yang aktif. Kalau datanya rapi, pembinaan jadi lebih efektif,” ujarnya.
Selain itu, ia menekankan pentingnya kompetisi rutin untuk mengukur kemampuan pesilat secara objektif. “Kalau tidak dipertandingkan, kita tidak tahu sejauh mana kemampuan mereka. Jadi kompetisi itu wajib,” tambahnya.
Pelestarian Bahasa Banten
Tidak hanya bicara soal silat, Prof. Furtasan juga menyoroti pelestarian bahasa daerah di Banten. Ia menyampaikan keprihatinan karena penggunaan bahasa ibu kini mulai jarang terdengar di kalangan muda.
“Bahasa daerah adalah identitas budaya. Kalau tidak dilestarikan, lama-lama hilang.
Saya usul setiap Jumat, misalnya, khotbah di masjid bisa menggunakan bahasa daerah,” ucapnya.
Ia juga mendorong perguruan tinggi negeri di Banten untuk membuka jurusan Bahasa Banten sebagai upaya pelestarian jangka panjang. “Kalau ada program studi bahasa daerah, maka akan ada literasi dan kajian akademik yang membuatnya hidup. Kalau tidak, bahasa itu akan punah dengan sendirinya,” katanya dengan nada prihatin.
Prof. Furtasan menilai, dunia pendidikan adalah kunci utama pelestarian budaya lokal.
Ia mendukung penuh integrasi kegiatan ekstrakurikuler pencak silat dan muatan lokal ke dalam kurikulum sekolah.
“Gerakan paling efektif adalah melalui pendidikan. Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?” pungkasnya.
Reporter: Novaldo
Editor: Cilegon, RedMOL. ID
